21 September 2018

“New Normal” dalam Pendidikan Tinggi

(Suara Merdeka, Wacana Nasional 15 September 2018)

SM-15-September-2018

"Kemampuan untuk menganalisis secara kritis menjadi salah satu keunggulan yang harus dikembangkan; tidak terjebak semata-mata pada penguasaaan alat atau teknologi."

BEBERAPA waktu lalu kita dikejutkan oleh dua nama calon wakil presiden yang terpilih sebagai pendamping dua calon presiden. Bahkan ada nama calon wakil presiden yang belum pernah muncul sebelumnya dan merupakan usulan baru dalam beberapa jam terakhir sebelum diumumkan. Meskipun banyak yang terkejut, akhirnya dipahami sebagai sesuatu yang normal dan harus berjalan. Titik normal baru yang diterima oleh masyarakat tersebut menjadi hal yang kemudian dipahami sebagai kondisi yang wajar.

Berbagai perubahan yang terus terjadi ini menciptakan kondisi yang disebut sebagai “the new normal”. The new normal merupakan terminologi yang dipakai pada tahun 2009 oleh Philadelphia City Paper saat mengutip Paul Glover dalam menjelaskan kondisi yang semula dinilai tidak umum menjadi sesuatu yang kemudian dianggap biasa, wajar, dan akhirnya diterima secara luas. Pada saat itu, dunia bisnis mencari titik normal yang baru setelah terjadi krisis keuangan pada 2007- 2008 dan resesi global pada 2008- 2012.

Kejutan serupa juga saya alami saat diundang ke Harvard University pada Juli lalu. Saat itu ada kesempatan mendatangi sebuah restoran di kota Boston yang bernama Spyce. Restoran ini memiliki pilihan menu masakan dari berbagai negara yang dapat dipesan sesuai dengan selera dan pantangan pemesannya. Setiap menu masakan juga sudah dihitung kalorinya dan semua pesanan itu dimasak di depan pemesannya dengan urutan berdasarkan antrean.