20 November 2005

Akses Internet Kenapa Harus Mahal

(Suara Merdeka Minggu – Rubrik Konek 20 November 2005)

Dunia internet di Indonesia saat ini sedang mengalami “cobaan” dengan berbagai peraturan, pungutan, dan diskriminasi terhadap warnet. Meskipun tidak berdampak langsung kepada konsumen, namun harga akses internet di beberapa warnet yang cenderung meningkat dan terhentinya perkembangan jumlah warnet tentunya dapat menurunkan sosialisasi teknologi ini ke masyarakat. Padahal informasi yang tersedia di internet sangat berharga bagi kemajuan masyarakat.
Berbagai terobosan sudah diusahakan oleh beberapa pakar dan praktisi di bidang ini untuk dapat menciptakan kesempatan yang luas kepada masyarakat dalam memanfaatkan internet. Salah satunya adalah dengan membangun jaringan RT/RW Net di lingkungan perumahan atau kos. Dengan sistem berbagi koneksi internet, biaya yang dikeluarkan oleh setiap pengguna menjadi lebih murah. Pengorbanan yang relatif kecil menyebabkan pengguna internet tidak merasa terbebani dengan biaya internet setiap bulannya. Sehingga setiap masyarakat dapat merasakan manfaat dari internet.
Bahkan di beberapa perumahan yang telah menerapkan RT/RW Net sejak awal, muncul ide untuk memfungsikan jaringan komputer yang ada tidak hanya menjadi media akses internet semata. Tetapi juga menjadi ajang bergaul bagi masyarakat perumahan yang kian hari makin individualis. Web portal yang telah umum tersedia di internet, dibangun di dalam intranet perumahan untuk media informasi, iklan, dan komunikasi. Baik dari penyedia sarana RT/RW Net, yaitu pengembang perumahan ke penghuni, maupun dari penghuni ke penghuni. Sehingga bagi warga yang tidak lagi mempunyai waktu untuk bersosialisasi, tetap memperoleh informasi dan kesempatan untuk berkomunikasi antar sesama penghuni perumahan.
Bahkan dengan adanya web services, sangat dimungkinkan bagi sebuah kelompok masyarakat internet untuk memperoleh informasi dari luar yang dikumpulkan dalam satu halaman web portal. Apabila seseorang menginginkan untuk bepergian ke luar negeri, ia cukup menggunakan fasilitas yang ada di dalam web portal perumahan untuk melihat pesawat yang tersedia pada hari tertentu dan harga tiket termurah yang tersedia di berbagai maskapai penerbangan.
Begitu pula dengan aktivitas belanja ibu-ibu rumah tangga di supermarket. Mereka cukup mengunjungi web portal perumahan untuk melihat harga suatu produk atau berbagai jenis produk yang diobral di berbagai supermarket di sekitar perumahan. Apabila setiap web supermarket menyediakan fasilitas e-commerce, maka setiap produk yang dipesan dapat langsung dikirim ke rumah masing-masing.
Namun sejauh mana kesiapan masyarakat dalam membangun internet society dengan ilustrasi di atas? Saat ini internet di Indonesia masih dilihat sebagai teknologi yang mahal dan hanya berguna untuk masyarakat pendidikan atau bisnis semata. Internet bahkan dipandang sebagai pusat hiburan sehingga karenanya oleh pemerintah perlu dikenai pajak hiburan. Internet tidak dilihat sebagai alat bantu yang mampu mengangkat bangsa ini selangkah lebih maju. E-commerce, E-government, E-learning, E-Banking, dan E-yang lain seringkali dianggap sebagai prestasi ketika sebuah institusi berhasil membuatnya. Meskipun macet dalam implementasinya.
Ketika pemerintah pusat menginstuksikan setiap daerah harus mempunyai website, bahkan dapat digunakan sebagai media komunikasi dengan warga dalam memperoleh informasi dan pelayanan secara langsung, hal ini menjadi angin segar bagi masyarakat dan tentunya dunia TI di Indonesia. Namun ketika implementasinya tidak sesuai dengan yang diharapkan, masyarakat tidak lagi melihatnya sebagai terobosan yang punya prestasi. Bahkan melihatnya sebagai proyek mahal yang tidak bermanfaat. Ketika pemenang proyek e-government mempublikasikan hasil karyanya, tidak banyak yang antusias untuk mengetahuinya.

Melihat ke Thailand
Jika kita melihat ke negara tetangga Thailand, yang notabene sama-sama negara yang sedang berkembang di Asia, perkembangan TI-nya cukup melesat jauh ke depan. Akses internet broadband diklaim telah digunakan pada hampir seluruh kota-kota yang ada di Thailand. Bahkan ketika penulis mencoba untuk merasakan dunia internet di Thailand, decak kekaguman muncul pada saat pertama kali memanfaatkan. Bagi negara yang lebih terkenal dengan dunia pariwisatanya dan sama-sama berstatus negara sedang berkembang seperti Indonesia, pemanfaatan internet di negeri ini cukup mengagumkan.
Hampir setiap perusahaan telah memiliki website yang berfungsi untuk menjelaskan profil perusahaannya kepada masyarakat. Bahkan pada beberapa website supermarket, informasi produk dan promosi setiap hari ter-update dengan baik. Untuk orang asing yang tinggal di negeri tersebut, fungsi website yang dimiliki oleh setiap supermarket sangatlah terasa. Meskipun tidak bisa membaca aksara Thailand yang umumnya digunakan di setiap supermarket, dengan adanya website tersebut setiap orang dapat memperoleh informasi akurat. Sebagai contoh adalah website salah satu kelompok supermarket besar di Thailand, yaitu Big C, yang berlokasi di http://www.bigc.co.th. Selain itu Anda juga dapat mengunjungi website http://www.pizza.co.th yang konon merupakan “pecahan” Pizza Hut di Thailand. Dengan fasilitas e-commerce, Anda dapat memesan secara langsung ataupun hanya sekedar melihat harga-harga Pizza maupun kombinasinya yang dijual di sana. Hal yang sama juga kurang lebih terjadi pada e-government, e-learning, dan e-banking di negara ini. Tidak heran hampir setiap dosen memiliki website dengan nama domain masing-masing untuk mempublikasikan karyanya dan materi-materi kuliah. Hampir setiap masyarakat, terutama masyarakat pendidikan telah terbiasa memanfaatkan internet untuk berbagai aktivitas.
Kondisi di atas tentunya juga didukung oleh semakin murahnya akses internet di negara yang terkenal sebagai negara Gajah Putih. Biaya akses internet 24 jam ADSL dengan kecepatan 256 KBps hanya berkisar 600 Baht atau 150 ribu rupiah setiap bulannya. Sedangkan untuk kecepatan 4 MBps berkisar 2.200 Baht atau 550 ribu rupiah. Dengan perbandingan dengan biaya akses yang sama di Indonesia, biaya semurah itu tentunya membuat banyak pelajar asal Indonesia tertarik untuk memanfaatkannya. Apalagi masih ditambah dengan bonus gratis modem router ADSL dan kamera web (webcam), sehingga setiap pelanggan tidak lagi mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli hardware ADSL beserta instalasinya. Dengan biaya hidup minimal di Bangkok yang berkisar 16.000 Baht atau 4 juta rupiah, perbandingan antara manfaat dan harga akses internet tentunya terasa sangat murah.
Saling dukung antara dunia TI dan pemerintah Thailand semakin memperlihatkan hubungan yang harmonis dan membuktikan adanya perhatian dari pemerintah terhadap perkembangan TI di negeri ini. Sebagai contoh terlihat pada saat ulang tahun Ratu Thailand, dimana kelompok masyarakat internet di Thailand menciptakan satu situs khusus http://www.belovedthequeen.com sebagai bentuk perhatian kepada Ratunya. Bahkan pada beberapa sosialisasi teknologi internet di Thailand, terlihat jelas keikutsertaan sang Ratu dalam berbagai kegiatan tersebut.
Bagaimana dengan negara kita? Sudahkan ada dukungan dari pemerintah yang berkelanjutan dan tidak hanya sesaat untuk kemajuan dunia TI di Indonesia? Bisakah masyarakat merasakan fasilitas internet tanpa harus terbebani dengan biaya ekstra yang cenderung meningkat? Siapkah praktisi TI dan masyarakat sekitarnya secara bersama-sama menciptakan berbagai terobosan yang dapat saling memudahkan dalam mengakses teknologi internet? Mari kita renungkan pertanyaan itu bersama-sama dengan bijak.