(Suara Merdeka, Wacana Nasional, 17 Juli 2017)
“Perubahan melalui disruptive innovation telah membuat banyak pemimpin bisnis gugup menghadapi perubahan peta persaingan”
INOVASI yang mengganggu atau istilah populernya disebut disruptive innovation dimunculkan oleh Clayton Christensen sejak tahun 1995 melalui tulisannya di Harvard Business Review dan buku The Innovator’s Dilemma.
Istilah ini menjadi bahasan yang hangat setelah berbagai bisnis dengan memanfaatkan teknologi muncul mengancam eksistensi bisnis konvensional yang mapan sebelumnya yaitu layanan taksi, pemesanan kamar, penjualan tiket perjalanan, bahkan pusatpusat penjualan.
Perubahan melalui disruptive innovation telah membuat banyak pemimpin bisnis gugup menghadapi perubahan peta persaingan. Beberapa perusahaan sukses melakukan adaptasi menghadapi perubahan tersebut, namun banyak yang menghadapi kegagalan karena terlambat menyikapi.
Dunia pendidikan tinggi perlu bersiap-siap sejak awal agar tidak terlambat dalam menghadapi perubahan akibat disruptive innovation.
Dalam buku The Innovator’s Dilemma, keengganan untuk berubah dan melihat hal-hal yang baru karena telah terbiasa dan yakin dengan hal-hal lama yang dijalani selama ini hanya akan membawa organisasi dalam ketertinggalan, menjadi tidak kompetitif, dan kemudian lenyap ditelan oleh perubahan.
Seringkali perubahan yang diciptakan mungkin gagal atau bahkan lebih buruk dari yang telah ada sebelumnya, namun sangat dimungkinkan akan menggantikan pasar di kemudian hari.
Gejala ini mungkin sudah dapat mulai kita lihat dalam pasar mobil elektrik yang semula tidak dilirik karena industri otomotif yang relatif stabil, serta kecepatan dan kualitas produknya masih belum terkalahkan.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, mobil elektrik akan menggantikan produk pemenang dari industri otomotif saat ini. Hal yang sama juga akan terjadi pada dunia pendidikan salah satunya melalui pembelajaran daring.