27 November 2017

Rumah untuk Alumni

(Suara Merdeka, Wacana Nasional, 27 November 2017)

SM-27_11_2017-Rumah-untuk-Alumni

“Meskipun teknologi sebagai media dalam menjembatani tujuan tersebut menjadi keniscayaan, teknologi yang dikembangkan harus mampu menciptakan nilai lebih bagi keduanya; tidak hanya sekadar menjadi alat hubung”

BAGI banyak orang, saat kelulusan adalah satu momentum paling berkesan. Namun, setelah wisuda berlalu dan karena kesibukan, tingkat kesulitan kembali ke tempat kuliahnya dahulu menjadi tinggi.

Untuk pengurusan dokumen, mereka bahkan harus mencari waktu khusus atau titip kepada teman yang masih kuliah. Berbagai hal yang dibutuhkan dari almameternya menjadi rumit dan mahal sehingga akhirnya diminimalkan.

Interaksi yang makin minimal seringkali menjadikan kampus terasa sebatas bagian dari masa lalu. Teknologi informasi yang berkembang seharusnya memungkinkan universitas menjadi rumah bagi alumni, terutama jika keduanya saling terkoneksi dengan masa depan.

Alumni dengan berbagai aktivitasnya memiliki banyak pengalaman yang dapat dibagikan kepada kampus dan adik-adiknya. Berbagai pengalaman baru dan pemikiran yang konstruktif bagi universitasnya acap muncul pada saat mereka bekerja. Namun, karena tidak terkoneksi, banyak hal baik hanya berhenti di pikiran dan hilang bersama waktu.

Hubungan antara keduanya umumnya baru terjalin lagi saat reuni dan menjelang akreditasi program studi atau perguruan tinggi. Padahal tingkat mobilitas alumni antarnegara yang makin tinggi akhir-akhir ini merupakan pengalaman berharga untuk dibagikan.

06 November 2017

Wayang Orang Ngesti Pandawa dan Teknologi

(Suara Merdeka, Wacana Nasional, 6 November 2017)

SM-6_11_2017-WO-Ngesti-Pandawo-dan-Teknologi

“Dengan potensi yang ada dan peluang pengembangan pasar, Ngesti Pandawa menggunakan dua strategi pemasaran dalam bentuk promosi ataupun edukasi”

LEBIH dari 50 persen penduduk Indonesia atau sekitar 132,7 juta jiwa merupakan pengguna internet. Jumlah netizen di negeri ini bahkan lebih besar dibandingkan jumlah penduduk sebagian besar negara di Asia. Hal ini tentunya menjadi pangsa pasar yang besar dan potensial bagi pemasaran produk dan jasa.

Meningkatnya pengguna internet, perkembangan teknologi, dan perubahan generasi, menuntut perubahan dalam pengelolaan bisnis. Dalam hal ini, pertunjukan kesenian tradisional yang kabarnya ditinggalkan anak muda juga harus bisa menyesuaikan dengan konsep pemasaran digital.

Pertunjukan Wayang Orang yang berlokasi di Taman Budaya Raden Saleh di Jalan Sriwijaya No 29 Semarang mungkin lebih beruntung dibandingkan Perkumpulan Wayang Orang sejenis di kota lain. Sebabnya, pentas masih diadakan secara rutin setiap Sabtu mulai pukul 20.00.

Meskipun jumlah penontonnya tidak pasti, kerap diadakan pertunjukan kolaboratif dengan institusi pendidikan, pemerintah, dan swasta. Sejumlah besar tiket terbeli oleh manajerial dan anggota keluarga institusi tersebut. Jika dana tidak mencukupi, terdapat dukungan dari pihak ketiga dan tambahan bunga dari dana abadi.

Satu keberuntungan yang paling penting dan merupakan modal yang besar adalah loyalitas dan semangat untuk pentas dari para pemain yang masih cukup besar meskipun honor terbilang kecil. Bahkan ada beberapa anak muda yang terlihat bergabung dalam beberapa kali pertunjukan.

Meskipun begitu, jumlah penonton yang tidak pasti harus dicarikan solusi. Terutama memanfaatkan teknologi yang sedang berkembang. Dalam Forum Group Discussion (FGD) dengan mahasiswa tingkat dua di Unika Soegijapranata, muncul informasi yang cukup mengejutkan setelah mereka menonton pertunjukan Ngesti Pandawa.

Mereka menyatakan ketertarikannya dengan pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandawa sehingga menyayangkan promosi yang tidak sampai ke anak muda. Mereka menyarankan penggunaan media sosial dalam merangkul anak muda.

Namun mereka mengaku tidak cukup memahami jalan cerita karena penggunaan bahasa Jawa serta tidak ada petunjuk atau narasi sebelum dan selama pertunjukan berlangsung. Mereka menyarankan untuk menambahkan narasi cerita dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa asing yang ditayangkan melalui proyektor. Dengan demikian akan mempermudah penonton yang datang dari berbagai daerah atau negara lain.

Transaksi pembelian tiket yang tidak harus datang ke lokasi juga menjadi harapan mereka. Hal ini akan meningkatkan rasa aman telah memiliki tiket sebelum pelaksanaan pertunjukan. Berbagai gerbang pembayaran digital dapat digunakan untuk menjembatani kebutuhan tersebut melalui menggunakan kartu kredit ataupun transfer bank.

01 November 2017

Co-Creation dan Generasi Z

(Suara Merdeka, Wacana Nasional, 1 November 2017)

SM-01_11_2017-Co-Creation-dan-Generasi-Z

”Universitas generasi keempat dituntut untuk berperan sebagai agen transformasi sekaligus co-creator. Universitas tidak hanya aktif dalam bidang pendidikan dan penelitian, tetapi juga utilisasi pengetahuan dan menciptakan nilai tambah”

DUNIA sedang berubah, termasuk dunia pendidikan. Berbagai pekerjaan yang hilang dan muncul baru dalam beberapa tahun terakhir ini menuntut dunia pendidikan juga ikut berubah. Usaha universitas dalam menyesuaikan dengan berbagai perubahan di dalam masyarakat merupakan keniscayaan yang harus dilakukan.

Dalam berbagai prediksi, disruptive innovation tidak hanya terjadi pada dunia bisnis, tetapi juga pada keseluruhan aspek kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan. Keengganan untuk melakukan self-disruption akan menyeret organisasi ke arah kemunduran.

Menurut Trencher (2013) dan Widianarko (2016), terdapat empat tahapan evolusi perguruan tinggi berdasarkan misinya. Jika universitas generasi pertama menekankan tugasnya dalam hal edukasi, maka generasi kedua menekankan kontribusinya dalam hal riset. Adapun universitas generasi ketiga berkembang menjadi entrepreneurial university.

Agar dapat menjawab tantangan dan keberlanjutan pembangunan universitas ke depannya, universitas generasi keempat dituntut untuk berperan sebagai agen transformasi sekaligus co-creator. Universitas tidak hanya aktif dalam bidang pendidikan dan penelitian, tetapi juga utilisasi pengetahuan dan menciptakan nilai tambah.

Jika melihat karakteristik Generasi Z yang saat ini aktif sebagai siswa di perguruan tinggi, keakraban terhadap teknologi, penguasaan gadget canggih, kemandirian dalam eksplorasi pengetahuan di dunia digital, dan kebutuhan terhadap ruang inovasi untuk memperoleh pengetahuan secara kreatif, sangat sesuai dengan evolusi universitas generasi keempat yang mengusung peran sebagai co-creator.

Konsep co-creation dalam dunia bisnis menurut Prahalad dan Ramaswamy (2004) merupakan kerja sama perusahaan dan konsumen dalam menghasilkan nilai atau kelebihan baru. Dalam buku Business-Driven Information System (Tarigan, Purbo, dan Sanjaya, 2010), konsep ini menekankan pada kesediaan perusahaan untuk mendengarkan stakeholder dalam kerja sama penciptaan nilai baru.

Adapun menurut Widianarko (2016), co-creation merupakan kerja sama atau kolaborasi dengan stakeholder dalam menghasilkan perubahan dalam masyarakat. Hal ini tidak berbeda jauh dari Catherine Bovil (2011), yang menjadikan siswa sebagai mitra dalam menghasilkan pengetahuan bagi yang lain. Siswa dilibatkan dalam proses pencarian pengetahuan dan pengajar menjadi fasilitator namun tetap menguasai medan agar siswa berada pada jalur yang benar.