(Suara Merdeka Minggu – Rubrik Konek 11 Juni 2006)
“Sekolah kita akan kedatangan Internet…”, kata Kepala Sekolah. Beberapa anak yang mencuri dengar pembicaraan tersebut terkesima dengan "sosok" asing yang disebut Internet.
Ada perasaan terkejut ketika pertama kali melihat iklan ini di salah satu TV Indonesia. Sambil berusaha menebak-nebak siapa yang membuat program ini, saya tersenyum melihat reaksi lugu setiap bintang iklannya ketika menanggapi kedatangan sosok bernama Internet. Ketika iklan hampir berakhir dan logo sang perusahaan mulai muncul dengan jelas, maka terjawablah siapa yang beriklan. Ada perasaan kagum dan haru, meski diliputi perasaan ragu akan program ini. Seandainya betul-betul dilaksanakan dengan tulus, tentunya usaha ini tidak akan sia-sia. Bukan sekedar karena kepentingan bisnis atau program promosi perusahaan semata.
Banyak pemirsa televisi, terutama praktisi di bidang TI, menyatakan kagum dan tersentuh dengan adanya iklan ini. Bahkan ada yang teringat dengan pengalaman masing-masing beberapa tahun yang lalu ketika pertama kali mengenal internet. Karena manfaat dan besarnya peranan internet bagi kehidupan mereka sekarang ini, mereka berharap hal yang sama juga dapat dialami oleh masyarakat desa, terutama pelajar yang direprentasikan dalam iklan tersebut.
Mahal
Di Jawa Tengah, internet mulai masuk ke kota Semarang pada tahun 1995. Dua penyedia jasa layanan internet (Internet Service Provider atau ISP) pada waktu itu ikut membidani ketersediaan akses internet dan promosi penggunaannya di kota ini.
Namun karena harga akses internet yang masih mahal serta sosialisasi manfaat dan penggunaan internet yang tidak meluas menyebabkan jumlah penggunanya tidak bertambah secara signifikan. Hanya orang-orang dengan tingkat pendapatan tertentu yang mampu memanfaatkan teknologi ini.
Pada saat itu warung internet hanya menyediakan satu komputer yang dapat disewa bergantian dengan harga sewa yang mencapai 12 ribu rupiah per jam namun dengan kecepatan yang jauh di bawah sekarang.
Tingginya harga sewa tersebut karena biaya tetap untuk akses internet dan telepon hanya dibebankan kepada satu komputer saja, bukan ke beberapa komputer seperti umumnya warung internet saat ini. Belum adanya pengetahuan tentang software atau hardware yang dapat membagi akses internet ke beberapa komputer turut menyebabkan berbagai keterbatasan ini.
Salah satu organisasi mahasiswa, yaitu Internet Club, dan satu unit pengembangan komputer untuk mahasiswa, yaitu UPK-FE, yang berbasis di Semarang, pada waktu itu mencoba untuk memecahkan solusi tersebut dengan memanfaatkan software dan hardware Proxy Router untuk membagi akses internet ke beberapa pengguna.
Dengan adanya pembagian tersebut, biaya telepon dan internet dapat dibagi bersama. Meskipun dengan berbekal modem berkecapatan 36Kbps, akses internet dapat dinikmati oleh 20 pengguna secara bersamaan. Meskipun lambat, cara tersebut dapat menghapus dahaga dan keingintahuan akan teknologi ini.
Saat ini, internet tidak lagi menjadi hal yang asing lagi. Surat elektronik atau e-mail telah menjadi pemeran penting dalam banyak aktivitas. Bahkan jika tidak memeriksa e-mail setiap hari, ada sesuatu yang kurang. Surat menyurat antara mahasiswa dengan dosen melalui e-mail sudah merupakan hal yang umum untuk mempermudah komunikasi. Batasan-batasan feodal di dunia pendidikan sedikit demi sedikit mulai terkikis melalui komunikasi ini.
Sosialisasi Manfaat
Seandainya program yang diiklankan tersebut dapat diberikan secara gratis atau murah kepada masyarakat desa dalam jangka waktu tertentu dan dipelihara secara rutin baik pelatihan pemanfaatan internet dan perawatan hardware, maupun sosialisasi, tujuan untuk membuat masyarakat Indonesia melek internet tentunya tidak akan sia-sia.
Dengan membuat mereka mengerti manfaat internet, potensi pemanfaatan internet jauh lebih besar dan berkelanjutan. Jika mereka dapat merasakan manfaatnya, tanpa dipaksa dengan kegiatan ekstrakurikuler, internet akan menjadi suatu kebutuhan. Hasil dari kemajuan tersebut bukan hanya akan dirasakan oleh masyarakat pengguna tetapi juga oleh sponsor.
Bercermin pada program TI dari kota Kebumen yang sukses menjadi finalis dalam penghargaan “The Stockholm Challenge 2006” di bidang pendidikan dan bersaing dengan berbagai negara di dunia yang memiliki cukup banyak dukungan dalam pemanfaatan TI. Meskipun tidak ada dukungan dari pemerintah dan LSM, komunitas TI di kota Kebumen mampu menghadirkan akses internet secara komersial dan non-komersial di kota ini serta memberikan pelatihan dan sosialiasi manfaat internet secara berkelanjutan untuk dunia pendidikan. Dengan memberikan perhatian lebih kepada dunia pendidikan, mereka percaya bahwa masa depan negara kita dapat menjadi lebih baik.
Internet bukan hanya menjadi sarana bagi desa untuk melihat dunia, tetapi juga sebagai sumber pengetahuan dunia. Guru tidak lagi berpanduan pada buku teks semata, tetapi juga dapat mengembangkan bahan pengajarannya dengan berbagai sumber pengetahuan di internet. Sedangkan bagi siswa, internet dapat menjadi jalan untuk menjawab berbagai keingintahuan mereka ataupun bahkan pekerjaan rumahnya.
Harga Akses
Internet sebagai salah satu pendorong kemajuan di bidang pendidikan, sudah selayaknya untuk dipikirkan kebijakan harganya. Penetapan harga akses internet yang lebih murah dapat mendorong tingginya frekuensi pemakaian. Dengan frekuensi pemakaian yang meningkat tentunya akan mengembalikan keuntungan provider pada titik semula atau bahkan lebih.
Jika kita melihat ke negara tetangga Thailand, yang notabene sama-sama negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, perkembangan internetnya cukup melesat jauh ke depan. Biaya akses internet 24 jam ADSL dengan kecepatan 256 Kbps hanya berkisar 600 Baht atau 150 ribu rupiah setiap bulannya. Sedangkan untuk kecepatan 4 Mbps berkisar 2.200 Baht atau 550 ribu rupiah.
Dengan perbandingan dengan biaya akses di Indonesia, biaya semurah itu tentunya membuat banyak pelajar asal Indonesia tertarik untuk memanfaatkannya. Apalagi masih ditambah dengan bonus gratis modem router ADSL, sehingga setiap pelanggan tidak lagi mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli hardware ADSL beserta instalasinya.
Jika akses internet murah untuk dunia pendidikan dapat terwujud di Indonesia, ada celah alternatif yang bisa diharapkan untuk mendorong kualitas sumber daya manusia dari dunia pendidikan. Namun apakah hal ini bisa terjadi? Semoga rencana Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) untuk memanfaatkan satelit nasional dan pembuatan backbone internet internasional yang mandiri, tidak menginduk ke Singapura seperti saat ini, dapat mengurangi harga bandwidth sampai 20 hingga 50 persen.