(Suara Merdeka - Wacana Nasional, 26 Agustus 2016)
PEMBELAJARAN berbasis elektronik atau e-learning yang berkembang di Indonesia, memunculkan banyak tanda tanya. Antara lain perihal materi pembelajaran yang mungkin dan tidak mungkin diunggah ke e-learning, kesiapan peserta didik, serta peran pendidik. Dalam mencari jawab atas berbagai tanda tanya tersebut, seyogyanya kita perlu melihat e-commerce atau perdagangan elektronik.
Perdagangan elektronik punya pertanyaan serupa pada awal-awal perkembangannya. Saat itu, pertanyaan seputar e-commerce terkait dengan kemungkinan pembeli menyentuh produk secara fisik yang tidak bisa lagi dilakukan, sensasi tawar menawar yang hilang, atau produk tidak sesuai.
Namun berbagai pertanyaan tersebut tidak lagi muncul ketika melihat peningkatan perdagangan digital di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Ada juga pihak yang menilai konsumen e-commerce saat ini adalah generasi muda yang tidak lagi melihat kelemahan perdagangan digital di masa lalu.
Generasi Y dan Z yang lahir pada saat teknologi informasi sudah sedemikian berkembang, memercayai pasar digital yang telah ada sejak mereka lahir. Tetapi jika dilihat lebih detil, sebetulnya telah terjadi penyesuaian atas e-commerce. Saat itu, mekanisme pembayaran masih didominasi dengan penggunaan kartu kredit yang ternyata banyak disalahgunakan di Indonesia.
Hasil dari adaptasi tersebut, saat ini penggunaan transfer ATM dan pembayaran tunai saat barang diterima paling favorit digunakan. Inovasi atau lebih tepatnya penyesuaian dalam perdagangan elektronik, membuktikan bahwa teknologi cukup lentur dalam mencari jati diri. Jika awalnya transaksi online masih sangat rendah, kini banyak masyarakat yang mencari pendapatan, bahkan sejak ia sekolah melalui perdagangan di internet.
Hal ini tidak jauh berbeda dari pembelajaran elektronik. Saat ini masih banyak guru maupun dosen yang memercayai banyak sisi pendidikan yang tidak dapat dijangkau oleh pembelajaran daring dan meragukan kontennya menyentuh pada inti pembelajaran.
Beberapa penelitian bahkan mengingatkan ada beberapa materi yang tidak mungkin disampaikan melalui pembelajaran daring. Contoh materi yang menyisipkan nilai-nilai pendidikan, praktikum laboratorium, atau praktik yang berhubungan dengan manusia. Namun, evolusi pembelajaran daring saat ini belum usai dan masih mencari bentuk, seperti halnya sejarah perdagangan elektronik.
Beberapa penelitian mencoba menggabungkan pembelajaran daring dan pembelajaran tatap muka yang disebut sebagai Hybrid Learning, Blended Learning, Flipped Learning, Technology Mediated Instruction, atau Web-Enhanced Instruction. Semua istilah tersebut merujuk pada perpaduan manfaat dari pembelajaran daring maupun pembelajaran tatap muka.
Namun digital natives dari generasi Ydan Z bisa saja mengubah semua penelitian yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Ketika para peneliti dan yang diteliti tertatih-tatih menyikapi perubahan teknologi, anak-anak usia SD dan SMPsangat fasih memelajari pembuatan slime dari YouTube maupun situs-situs internet.
Orang tua terkaget-kaget melihat anaknya melakukan eksperimen mencampur sabun, shampo, minyak bayi, lem, tepung kanji, bahkan boraks. Mereka menyebut karya itu sebagai Holy Slime, Thai Slime, Jelly Slime, dan masih banyak lagi. Sebagian besar hasil karya dipakai untuk membersihkan debu, sekadar permainan, atau bahkan dijual lagi ke teman.
Pembuatan slime memang tidak mengharuskan akurasi, namun aktivitas anakanak dalam mempelajari dan menghasilkan produk hanya melalui tampilan video atau catatan harian orang lain merupakan suatu kenyataan yang mengagumkan. Saat ini, itu makin jamak ditemui. Selain pembuatan slime, anak-anak sangat terbiasa menggunakan internet untuk pembelajaran Aikatsu Magic Box, solusi video game, masak-memasak, rias wajah, atau masih banyak lagi.
Namun sekali lagi, evolusi pembelajaran daring saat ini belum usai dan masih mencari bentuk yang sesuai. Berbagai aktivitas tersebut menandakan bahwa generasi berikutnya sudah siap dengan pembelajaran elektronik. Dalam pembelajaran, guru dan dosen seringkali menampilkan video-video dari internet yang menyentuh untuk menyisipkan nilai-nilai pendidikan yang saat ini seringkali susah ditemui oleh siswa dalam keseharian.
Berbagai video menyentuh di YouTube sebetulnya merupakan iklan komersial, namun banyak ditemui di berbagai pelatihan kepribadian, motivasi dan kepemimpinan. Guru dan dosen yang membagikan video inspiratif di kelas menyadari, kejadian yang disampaikan merupakan pembelajaran yang dapat menginspirasi siswa. Sama seperti perdagangan digital, pembelajaran daring memerlukan waktu untuk menyesuaikan dan membuktikan perannya secara lebih maksimal.
Menurut Joao Paiva dalam British Journal of Educational Technology, sebutan digital, elektronik, ataupun daring dalam istilah pembelajaran nantinya akan hilang karena teknologi merupakan konsekuensi dari proses pembelajaran itu sendiri. (43)
— Dr Ridwan Sanjaya, dosen Sistem Informasi Unika Soegijapranata Semarang
Link: Suara Merdeka, News@Unika
0 komentar:
Post a Comment