SELESAI studi dari perguruan tinggi dengan predikat apa pun, merupakan bagian dari pencapaian yang dirasakan secara langsung oleh para lulusan, bahkan menjadi sejarah yang akan terus melekat dan terceritakan sampai akhir hayat nanti.
Bagi orang tua, pasangan, keluarga, atau teman-temannya, mendengar pengumuman kelulusan atau menyaksikan peristiwa penting saat mereka diwisuda akan menjadi satu peristiwa yang berkesan dan membanggakan. Mungkin dalam waktu-waktu ke depan, peristiwa tersebut akan terus dibawa dan dibagikan kepada orang-orang terdekatnya.
Hal yang sama saya alami pada saat berkunjung ke Vatikan pada hari Minggu yang lalu. Pada saat doa jam 12 siang, Paus Fransiskus mengumumkan pengangkatan Mgr Ignatius Suharyo sebagai satu dari 13 kardinal baru atau pejabat senior dalam lingkup Gereja Katolik Roma. Berada di tengah-tengah peristiwa penting secara langsung, meskipun hanya menyaksikan, menjadi satu peristiwa yang berkesan dan membanggakan.
Namun tidak bisa dimungkiri, lingkungan yang akan ditemui oleh para lulusan dalam beberapa tahun ke depan akan sangat dinamis, yaitu terus berubah, penuh dengan kejutan, memiliki kerumitan yang sebelumnya belum pernah ada, dan menjadi tidak mudah diprediksi.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya yang bertajuk “Visi Indonesia ”. Menurutnya, dibutuhkan cara-cara baru, model baru, dan sudut pandang yang berbeda agar bisa menilai dan menghadapi kondisi saat ini, untuk nantinya mendapatkan solusi atas berbagai permasalahan. Hal-hal baru yang dihadapi ataupun cara-cara yang dikerjakan nantinya seringkali berbeda dari kebiasaan yang sudah kita lakukan selama ini. Kadangkala dibutuhkan usaha yang cukup besar untuk mempelajari hal baru tersebut atau bahkan menerapkannya.
Jangan Sinis
Sebagai cendekiawan, cara-cara baru tersebut perlu disikapi dengan skeptis namun jangan secara sinis. Kritis dan analitis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia perguruan tinggi. Tetapi menjadi konservatif dan kurang adaptif dapat menjadikan kita terlewatkan dari banyak kesempatan dan menjadi tertinggal. Untuk itu, butuh kemampuan agar bisa menarinari di atas perubahan agar kita tidak tergulung oleh ombak perubahan.
Sebagai cendekiawan, cara-cara baru tersebut perlu disikapi dengan skeptis namun jangan secara sinis. Kritis dan analitis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dunia perguruan tinggi. Tetapi menjadi konservatif dan kurang adaptif dapat menjadikan kita terlewatkan dari banyak kesempatan dan menjadi tertinggal. Untuk itu, butuh kemampuan agar bisa menarinari di atas perubahan agar kita tidak tergulung oleh ombak perubahan.
Dalam berbagai pertemuan dengan banyak anak muda yang telah selesai dari studinya, mereka terlihat bisa menyesuaikan dengan situasi saat ini. Generasi saat ini telah terbiasa dengan jenis-jenis pekerjaan baru yang tidak populer di generasi sebelumnya. Bahkan pekerjaan formal ataupun jenis pekerjaan-pekerjaan populer yang telah ada sebelumnya seringkali tidak lagi menjadi pilihan bagi mereka. Dengan memanfaatkan teknologi informasi, mereka bisa membuat pekerjaan baru maupun bekerja bersama dengan banyak orang yang berbeda latar belakang dan kebangsaan, bahkan tanpa pernah bertatap muka secara fisik sebelumnya.
Teknologi informasi dijadikan sebagai papan selancar bagi generasi milenial untuk menjalankan idenya, berkomunikasi, berkoordinasi, dan menghasilkan kreasi. Mereka seringkali mendapatkan berbagai pekerjaan dari perusahaan-perusahaan besar dari berbagai negara dan memperoleh pendapatan yang cukup besar tanpa harus menyebutkan nama besar kampusnya. Perkembangan teknologi informasi telah membuat setiap anak muda berperan dan terlibat dalam berbagai peristiwa penting.
Karya inovasi mereka tumbuh seperti jamur di musim hujan, mentransformasi dunia modern kita. Menurut Skinner (2018), berbagai layanan fisik disatukan oleh mereka dalam wujud layanan digital untuk memberikan solusi kepada masyarakat.
Bagi mereka, teknologi informasi sudah seperti bahasa pergaulan dengan minat dan bakat sebagai konten pembicaraan. Dalam film Bumi Manusia yang novelnya ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, sosok utama bernama Minke atau Raden Mas Tirto Adhi Soerjo melihat zaman modern di akhir abad ke-19 sebagai suatu antusiasme atau semangat masyarakatnya, termasuk di dalamnya sikap dan pandangan, yang didasarkan pada ilmu, estetika, dan efisiensi.
Hal ini tidak ubahnya seperti melihat hingar bingar perkembangan teknologi informasi saat ini. Masa pencerahan di Eropa yang menjadi latar belakang cerita tersebut menjadi mirip dengan masa sekarang, dengan munculnya berbagai inovasi disruptif sebagai bentuk dari semangat untuk melakukan koreksi dan perubahan besar terhadap cara-cara lama, melalui penciptaan platform-platform baru yang lebih efisien. Berbagai penemu muncul pada masa itu dan menjadi sosok yang dikenal sebagai bagian dari berbagai sejarah dan peristiwa penting.
Jika direfleksikan dengan kesempatan yang ada pada masa sekarang, generasi milenial sebagai pemilik masa depan tentunya memiliki waktu yang cukup untuk menjadi bagian dari peristiwa penting pada masa mendatang. Saat ini tak ubahnya seperti Masa Pencerahan yang kedua dengan Teknologi Informasi sebagai tulang punggungnya. Generasi ini dapat menjadi pelaku dari peristiwa penting pada masa-masa mendatang, seperti halnya tokoh-tokoh penemu pada Masa Pencerahan sebelumnya di Eropa.
Peristiwa penting tersebut akan menjadi hal yang berkesan dan membanggakan bagi orang tua, guru, dosen, penasihat, atau teman-temannya, yang menyaksikan dan menjadi saksi sejarah. Untuk itu, saya mengajak para generasi muda untuk mengukir masa depan dengan menjadi bagian dari peristiwa penting dalam peradaban ini!
— Prof Dr F Ridwan Sanjaya, Rektor Unika Soegijapranata Semarang.
Tautan:
0 komentar:
Post a Comment