05 June 2020

Pembelajaran Daring untuk New Normal

(Suara Merdeka, Wacana Nasional 4 Juni 2020)


"Dimungkinkan akan banyak skenario yang dihasilkan untuk beradaptasi dengan pengaturan kehadiran siswa secara bergiliran di sekolah atau universitas"

SKENARIO New Normal (kenormalan baru) yang disiapkan oleh pemerintah beserta tahapan-tahapan pemulihan aktivitas di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan, menyiratkan akan adanya pembukaan kembali sekolah dan kampus dalam waktu dekat. Banyak pihak sebetulnya juga telah berharap bisa segera beraktivitas normal, meskipun juga di sisi lain tidak menginginkan ada peningkatan penyebaran Covid-19 seperti yang terjadi di Korea Selatan dan Jerman.

Praktik pelaksanaannya mungkin tidak semudah yang dibayangkan dan tidak mungkin sama dengan sebelum masa pandemi. Apalagi kita juga tahu, belum ada vaksin yang benar-benar terbukti mampu menyembuhkan dari Covid-19, selain stamina dan peningkatan imun tubuh. Jadi, penerapan protokol kesehatan seperti menjaga jarak aman, mengenakan masker, dan mencuci tangan menjadi syarat dalam kondisi kenormalan baru yang akan diterapkan.
Dalam berbagai infografik kenormalan baru, bidang pendidikan dirancang untuk mulai dibuka pada tahapan ketiga melalui penerapan protokol kesehatan yang ketat dengan mengatur kehadiran siswa secara bergiliran, agar syarat jarak aman dan kapasitas ruang dapat terpenuhi. Dimungkinkan akan banyak skenario yang dihasilkan untuk beradaptasi dengan pengaturan kehadiran siswa secara bergiliran di sekolah atau universitas. Pertama, kapasitas kelas dimungkinkan menjadi lebih kecil dibandingkan dengan sebelumnya karena jarak antarsiswa akan mengurangi kapasitas kelas pada umumnya. Konsekuensinya adalah biaya penyelenggaraan setiap kelas akan menjadi lebih besar dari sebelumnya, karena jumlah pengajar maupun ruang mengalami peningkatan. Sekolah atau kampus yang telah lama menerapkan kelas dalam jumlah kecil, tentu akan lebih mudah dan diuntungkan dalam situasi ini.
Skenario kedua, akan terjadi gabungan antara tatap muka dan daring atau hybrid learning dengan memungkinkan siswa menjalani pembelajaran dari rumah saat kelompok siswa yang lain hadir di dalam kelas. Konsekuensinya, teknologi informasi yang mendukung pembelajaran harus siap untuk kepentingan live streaming atau rekaman yang bisa diakses dari rumah atau bahkan memungkinkan interaksi secara langsung, meskipun siswa mengikuti pembelajaran dari rumah. Hal ini mungkin sangat sulit di beberapa daerah yang jaringan listrik dan internet tidak stabil maupun terjangkau.
Skenario ketiga akan ada pilihan pembelajaran tatap muka dan pembelajaran daring yang dapat dipilih oleh siswa secara terpisah. Namun dengan banyak pengalaman negatif di berbagai sekolah maupun kampus selama proses pembelajaran daring pada masa pandemi Covid- 19 dan keterbatasan akses internet maupun jaringan listrik, pilihan ini kemungkinan tidak efektif untuk ditawarkan. Kondisi pembelajaran daring yang serba mendadak selama lebih dari dua bulan lebih memang menunjukkan kenyataan bahwa banyak pengelola pendidikan belum siap menyelenggarakan pembelajaran secara daring. Perlu dukungan pemerintah untuk dapat memudahkan dunia pendidikan memanfaatkan teknologi informasi dalam implementasi pembelajaran daring dengan tingkat kesiapan yang baik, sehingga siswa maupun pendidik dapat menikmati suasana pembelajaran daring yang tanpa beban dan tertekan. Namun tidak semuanya harus bergantung pada Pemerintah Pusat.

Infrastruktur Teknologi Informasi
Dalam periode pertama pemerintahan di bawah Jokowi, pembangunan infrastruktur sipil merupakan prioritas yang memang terbukti memudahkan akses antarwilayah di berbagai tempat di Indonesia. Pembangunan infrastruktur bukan hanya terkait jalan, jembatan, waduk, ataupun terminal, tetapi juga listrik dan telekomunikasi. Akses internet dan jaringan listrik merupakan salah satu kunci yang mendukung visi SDM pada periode kedua Jokowi. Akses ini menjadi makin krusial pada masa pandemi.
Dana pendidikan 20 persen dari APBN yang diamanatkan oleh undang-undang juga menjadi modal yang cukup besar dalam mempermudah akses pendidikan melalui perluasan infrastruktur untuk internet dan listrik sekolah-sekolah di tanah air. Bahkan keberadaan portal pembelajaran daring sejenis SPADA yang dikembangkan oleh Dirjen Dikti secara tersentral di Jakarta, bisa direplikasi di daerah-daerah melalui dinas pendidikan di setiap kota maupun provinsi. Jika dikaitkan dengan visi smart city yang saat ini sedang digalakkan oleh banyak pemerintah daerah, peningkatan kualitas pendidikan melalui penyediaan infrastruktur pembelajaran yang inklusif termasuk di dalam prioritas yang harus dikembangkan.
Alokasi anggaran pendidikan yang out of the box dari kebiasaan yang sudah terjadi selama ini perlu dipertimbangkan. Kekuatan daerah dalam mewadahi kebutuhan pembelajaran daring bagi sekolah-sekolah di masing-masing wilayah selain untuk tujuan memperingan beban pemerintah pusat, juga untuk menyiasati kondisi masing-masing wilayah. Pengurangan beban yang dimaksudkan agar tidak harus selalu bergantung pada server web Kemendikbud maupun Dikti di Jakarta bertujuan agar juga menghindari bottleneck kepadatan jaringan pada jam-jam tertentu, karena kebutuhan yang sama terhadap server dari masing-masing sekolah atau kampus. Contoh kasus bottleneck dapat kita lihat pada saat server Dikti dan kementerian lainnya tiba-tiba melambat atau bahkan terhenti ketika batas waktu pengumpulan berkas dari seluruh wilayah Indonesia, sehingga seringkali harus dilakukan perpanjangan waktu.
Strategi untuk menyiasati kondisi masing-masing wilayah juga perlu dilakukan, karena jaringan listrik yang tidak selalu hadir di wilayah-wilayah tertentu dan akses internet yang belum tentu sekuat di Pulau Jawa. Keberadaan portal pembelajaran daring di masingmasing Dinas Pendidikan memungkinkan tetap bisa diakses melalui investasi Metropolitan Area Network (MAN) atau Jaringan Area Metropolitan. Menurut Kenneth C Laudon dan Jane PLaudon (2001), MAN menyediakan konektivitas internet untuk LAN di wilayah perkotaan dan bisa menghubungkan ke jaringan yang lebih luas. MAN pada umumnya digunakan oleh jaringan antarbank, perkantoran, maupun kampus dalam cakupan wilayah kota tertentu, baik menggunakan kabel maupun frekuensi radio. Strategi di atas mirip dengan Indonesia Higher Education Network (inherent) yang pernah dibangun oleh Dirjen Dikti, namun dengan cakupan dan terbatas di wilayah kota.
Karena setiap wilayah di Indonesia juga punya karakteristik yang berbeda-beda, baik kondisi listrik, telekomunikasi, maupun literasi teknologi informasi, maka Pemerintah Pusat hanya perlu memberikan pedoman atau standar minimal penyelenggaraan infrastruktur pembelajaran daring. Keberhasilan peningkatan kualitas pembelajaran daring juga harus dikuatkan dalam unsur penilaian implementasi smart city di masing-masing pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi desentralisasi pembelajaran daring yang dapat membantu sekolah maupun kampus di masing-masing daerah untuk tetap bisa bertahan di kondisi normal baru sekarang ini. (37)

— Prof Dr. F. Ridwan Sanjaya, Guru Besar Sistem Informasi Unika Soegijapranata Semarang.

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...