18 May 2022

”Big Data” Bukan Segalanya

(Kompas, Opini, 17 Mei 2022)
 

”Big data” berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Namun, ”big data” bukan segalanya. Kerap orang dibutakan oleh kebenaran berbeda di luar sana dan menolak untuk memprosesnya menjadi informasi yang komprehensif.

Menurut futurolog tersohor abad ke-20 Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980), siapa yang menguasai informasi akan menguasai dunia.

Jika dirunut dari konsep dasarnya, informasi merupakan data yang diolah menjadi bentuk yang dapat dimaknai oleh penerimanya. Maka, tak heran, Michael Palmer (2006) menyampaikan bahwa data merupakan minyak baru yang bisa diolah dan dimurnikan sehingga dapat digunakan oleh penggunanya.

Namun, Michael Palmer tidak spesifik menyebutkan ”pemurnian” data tersebut juga bisa menjadikannya sebagai sesuatu yang akhirnya tidak berharga, menyebabkan bencana bagi kemanusiaan, bahkan tidak akan membuat penguasa informasi itu menguasai dunia.

Dalam praktik saat ini, big data yang diolah dengan menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan juga bisa mengarahkan ”wujud” dunia setiap manusia menjadi kustom sesuai dengan preferensinya. Manusia hidup dalam dunianya sendiri, dunia yang didasarkan informasi dan fakta yang hanya ingin diterimanya.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana media sosial ikut berperan dalam hasil pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat pada 2016. Bukan karena efektivitas pemasaran digital oleh media sosial semata, melainkan juga karena kelebihannya dalam hal personalisasi informasi yang sejatinya diciptakan untuk membantu banyak penggunanya.

Salah satu dampaknya, informasi-informasi yang menyesatkan, tetapi disukai dan secara terus-menerus diterima oleh setiap individu selanjutnya diyakini sebagai informasi atau bahkan fakta yang sesuai dengan preferensinya, dengan mengabaikan yang lain.

Akibatnya, setiap individu bisa hidup dalam dunianya sendiri tanpa harus mengalami gangguan sosial terlebih dahulu. Orang-orang tersebut normal, tetapi cara berpikirnya distimulasi secara simultan oleh algoritma komputer, yang awalnya didasarkan pada preferensi dan rekam jejaknya sendiri.

Karena itu, semakin lama terpapar, kepercayaannya terhadap informasi dan fakta tertentu jadi semakin besar, bahkan diyakini sebagai kebenaran. Pihak lain yang menyuarakan berbeda akan dianggap sebagai pembohong atau bahkan musuh yang harus dilawan.

 

Jebakan ”mind stone”

Sebuah analogi yang menarik dapat kita lihat pada mind stone yang diceritakan dalam film-film Marvel. Mind stone dalam Avengers: Age of Ultron (2015) diceritakan memiliki kekuatan yang dahsyat sehingga selain mampu menghidupkan Vision, kekuatannya juga bisa menciptakan ilusi kehidupan di dalam serial Wanda Vision (2021).

Karena kecintaannya pada Vision yang tewas di dalam Avengers: Infinity War (2018), Wanda Maximoff diceritakan membuat dunianya sendiri yang dibangun oleh pikirannya, yang mendapatkan imbas dari kekuatan mind stone.

Kebahagiaan semu yang tercipta karena dirinya tidak menginginkan informasi dan fakta yang berbeda di mana Vision sudah tiada, menjadikan semua orang yang berbeda menjadi lawan, jalan cerita di-reset, atau bahkan ”menghitamkan layar” karena berbagai perbedaan yang tidak diinginkan. Sukacita yang didapatkannya itu dikendalikan oleh proses yang salah.

Ilusi tersebut akhirnya hanya bisa terhenti oleh dirinya sendiri ketika kesadarannya mau memproses informasi yang berbeda di luar dirinya.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan klaim orang-orang yang sukses di masa lalu atau merasa akan membawa masa depan yang lebih baik, dengan data yang tidak komprehensif atau bahkan hanya didasarkan pada kata-kata orang-orang di lingkarannya. Halusinasi fakta terbentuk akibat dari pemrosesan data yang salah. Data yang berlimpah saat ini dan kemudahan dalam memperolehnya menjadikan kita masuk dalam jebakan mind stone.

 

Halusinasi fakta

Dari sini, kita bisa melakukan refleksi secara bersama-sama terhadap beberapa kejadian terakhir ini, ketika seorang anak muda menyampaikan kondisi Orde Baru yang berbeda jauh dengan kejadian masa lalu yang dialami oleh sebagian besar masyarakat pada umumnya.

Dengan berbagai informasi dan berita tersajikan dengan kuantitas yang besar dan bisa dengan mudah diperoleh di dunia digital saat ini, muncul pertanyaan, informasi apa saja yang sudah dibacanya?

Begitu juga ketika salah satu pejabat menyampaikan bahwa data yang diperolehnya menunjukkan adanya keinginan yang kuat dari masyarakat untuk memperpanjang masa jabatan pemimpin nasional, yang berbeda dari banyak survei, memunculkan pertanyaan dari mana data yang menjadi acuannya?

Kadang kala kita juga mendapati ada rekan kerja yang menceritakan pencapaiannya pada masa jabatannya meskipun data yang terbaca tidak menunjukkan informasi yang sama dengan yang disajikan. Muncul pertanyaan, dengan dasar data yang sama, dari sisi mana dia melihatnya?

Apakah kita memiliki kesulitan dalam mengolah data yang banyak tersedia di sekitar? Apakah ada kesalahan dalam prosesnya mengubah data menjadi informasi? Ataukah kita hanya mau menelan data yang sesuai preferensi kita sehingga akhirnya menyebabkan halusinasi fakta?

 

Tidak hanya literasi digital

Pemanfaatan berbagai hasil karya digital yang tercipta pada abad ini tidak hanya menuntut literasi digital dalam wujud penguasaan teknis, tetapi juga kesadaran dan pemikiran kritis bahwa kebenaran tidak lagi mutlak. Masih ada kebenaran yang lain di sisi yang berbeda, atau jangan-jangan kepercayaan kita hanyalah kebenaran sebagian (half truth) yang patut dievaluasi.

Sebuah obat mungkin terasa pahit, tetapi dampaknya bisa menyembuhkan. Menyadari bahwa kebenaran tidak hanya yang diinginkan, mungkin akan mengurangi kebahagiaan yang selama ini dirasakan. Namun, tanpa kesadaran tersebut, kita tidak akan pernah menghentikan halusinasi fakta.

Pengolahan data, baik besar maupun kecil, menjadi informasi sangat tergantung dari prosesnya. Ketika prosesnya salah atau menyimpang, informasi yang dihasilkan juga bisa berbeda.

Big data bukanlah segalanya, terutama ketika kita dibutakan oleh kebenaran yang berbeda di luar sana dan menolak untuk memprosesnya menjadi informasi yang komprehensif. (Ridwan Sanjaya, Guru Besar Bidang Sistem Informasi Unika Soegijapranata)


0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...