22 June 2020

Sesat Pikir Kuliah Daring

(Kompas, Opini 22 Juni 2020)


Generalisasi kualitas pembelajaran daring sungguh berbahaya untuk kemajuan pendidikan di negeri ini. Pemerintah dan DPR harus mendorong kampus-kampus untuk berkembang lebih baik dalam melayani pendidikan bangsa kita.

Pandemi dan kuliah daring adalah dua hal yang berbeda. Hal ini jelas secara makna harfiah meski terjadi pada saat yang sama. Memang kuliah daring sangat happening saat pandemi Covid-19 tiba-tiba menerjang dunia.

Akan tetapi, bukan karena pandemi kuliah daring baru tercipta. Kegiatan pembelajaran di dalamnya tidak bisa suka-suka ditentukan sendiri, apalagi ala kadarnya karena sejak bertahun-tahun yang lalu sudah berkembang aktivitasnya. Kualitas pembelajaran tetap harus maksimal, bahkan dengan usaha yang lebih, meski kita menyadari situasi saat ini tidak mudah.

Harus diakui, pada awal-awal pandemi banyak kampus yang tidak siap menyelenggarakan pembelajaran dengan baik. Namun, tiga bulan berlalu, kampus-kampus sudah banyak menemukan bentuk pembelajaran daring yang sesuai dengan dosen, mahasiswa, dan output pembelajaran. Tidak ada kampus yang punya niatan jelek untuk ala kadarnya atau suka-suka dalam melayani mahasiswanya. Usaha yang terbaik tentu akan diupayakan demi memenuhi janji kepada mahasiswanya.

Tidak bisa dimungkiri, banyak kampus yang tidak mampu mencapai usaha secara maksimal karena faktor usia pendidiknya, infrastruktur, dan finansial. Karena dibutuhkan investasi yang tidak sedikit dalam penyelenggaraannya, maka saran Ketua Komisi X DPR I saat acara sosialisasi ”Panduan Penyelenggaraan  Pembelajaran pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik Baru  di Masa Pandemi  Covid-19”, Senin lalu, perlu didorong untuk diwujudkan.

Dukungan dari pemerintah berupa finansial dan infrastruktur bukan hanya akan menyelamatkan kampus, melainkan juga menyelamatkan masa depan mahasiswa agar tetap bisa meraih cita-cita dan kompetensinya sesuai dengan waktu yang diharapkan.

Seperti kita ketahui bersama, dalam melaksanakan pembelajaran daring butuh investasi yang tidak murah. Kampus harus memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk menyelenggarakan dengan baik. Selain akses telekomunikasi, kampus juga harus menyiapkan server dan langganan internet yang andal serta usaha dari dosen yang lebih besar daripada biasanya.

Para dosen harus menyiapkan berbagai materi dan ilustrasi pembelajaran yang dulunya bisa dijelaskan di papan tulis, kemudian dipindah ke dunia virtual. Biaya listrik juga tetap dikeluarkan karena kampus tidak otomatis kosong dan berhenti beroperasi begitu pembelajaran daring diselenggarakan. Sejatinya masih ada aktivitas dosen dan tenaga kependidikan dalam melayani pembelajaran daring dan membuat konten pembelajaran tetap menggunakan layanan ataupun infrastruktur kampus.

Apabila Ketua Komisi X menilai penyelenggaraan ini murah sehingga biaya harus diturunkan, tentunya saran beliau lainnya juga harus diikuti, yaitu memberikan dukungan finansial dari pemerintah kepada kampus untuk penyelenggaraan pembelajaran daring. Dengan demikian, investasi dan biaya dari penyiapan akses, infrastruktur, hingga insentif pembelajaran daring dapat tertangani dengan baik.

Tentunya pemberian insentif bukan hanya kepada kampusnya, melainkan juga kepada mahasiswa yang konsisten mengikuti pembelajaran daring secara terus-menerus. Dengan begitu, biaya bisa jadi diturunkan sesuai dengan dorongan beliau.

Namun, agar tercipta keadilan, kampus-kampus juga harus memberikan timbal balik berupa kualitas pembelajaran yang maksimal, bukan hanya sekadar memberikan materi dan tugas melalui surel atau media sosial lain saat jadwal kuliah. Ini agar mahasiswa tidak harus terpaksa belajar sendiri.

Karena kalau itu terjadi sebaliknya, mahasiswa tentu bisa mengambil materi dari Youtube atau Massive Open Online Courses (MOOCs) dari seluruh dunia yang sering kali lebih bagus dan jelas dalam memberikan penjelasan. Dengan disertai visual yang menarik, gaya bicara anak muda, dan serasa bertemu secara fisik, dimungkinkan bisa membuat dunia pendidikan Indonesia terdisrupsi lebih cepat.

Generalisasi kualitas pembelajaran daring sungguh berbahaya untuk kemajuan pendidikan di negeri ini. Pemerintah dan DPR justru harus mendorong kampus-kampus untuk berkembang lebih baik lagi dan lebih mampu lagi dalam melayani bangsa ini. Dengan demikian, kualitas pembelajaran dapat mencapai output yang diharapkan meski pandemi tidak memberikan waktu kepada kita untuk bersiap-siap.

Jika kampus berbuat yang terbaik, akan menghindarkan kita dari sesat berpikir tentang kualitas kuliah daring yang sebetulnya juga sama dengan pembelajaran konvensional.

Menurut guru besar dalam pembelajaran digital, Stefan Hrastinski (2008), pembelajaran daring terdiri dari dua jenis, yaitu synchronous learning dan asynchronous learning. Untuk istilah yang pertama merujuk pada aktivitas real-time dalam pembelajaran daring. Semua materi dan interaksi dosen secara langsung dengan mahasiswa terjadi sesuai dengan jadwal perkuliahan setiap hari.

Kebutuhan server yang stabil dan mampu menangani pengguna secara massal dan masif dalam waktu yang sama saat pembelajaran daring untuk jenis synchronous learning jauh lebih besar dibandingkan dengan pembelajaran daring dengan jenis asynchronous learning yang tidak membutuhkan interaksi dosen secara real-time dengan mahasiswanya.

Untuk jenis pembelajaran daring yang kedua ini, kampus hanya perlu meletakkan materi, tugas, serta evaluasi di suatu tempat yang telah ditentukan dan membiarkan mahasiswanya berusaha secara mandiri. Kebanyakan model pembelajaran universitas terbuka di berbagai belahan dunia memang menuntut kemandirian belajar siswanya.

Usulan DPR terkait dukungan finansial dari pemerintah dalam penyelenggaraan pembelajaran daring perlu didorong. Namun, perlu melihat beda jenis pembelajaran daringnya serta kualitas pembelajaran daring yang diselenggarakan secara nyata di tiap-tiap kampus. Pengetahuan ini dibutuhkan agar kita tidak sesat pikir dalam menilai kualitas dan biaya dari penyelenggaraan kuliah daring.

(Ridwan Sanjaya, Rektor dan Guru Besar Sistem Informasi Unika Soegijapranata)

Tautan:

0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...