(Suara Merdeka, Wacana Nasional, 1 November 2017)
”Universitas generasi keempat dituntut untuk berperan sebagai agen transformasi sekaligus co-creator. Universitas tidak hanya aktif dalam bidang pendidikan dan penelitian, tetapi juga utilisasi pengetahuan dan menciptakan nilai tambah”
DUNIA sedang berubah, termasuk dunia pendidikan. Berbagai pekerjaan yang hilang dan muncul baru dalam beberapa tahun terakhir ini menuntut dunia pendidikan juga ikut berubah. Usaha universitas dalam menyesuaikan dengan berbagai perubahan di dalam masyarakat merupakan keniscayaan yang harus dilakukan.
Dalam berbagai prediksi, disruptive innovation tidak hanya terjadi pada dunia bisnis, tetapi juga pada keseluruhan aspek kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan. Keengganan untuk melakukan self-disruption akan menyeret organisasi ke arah kemunduran.
Menurut Trencher (2013) dan Widianarko (2016), terdapat empat tahapan evolusi perguruan tinggi berdasarkan misinya. Jika universitas generasi pertama menekankan tugasnya dalam hal edukasi, maka generasi kedua menekankan kontribusinya dalam hal riset. Adapun universitas generasi ketiga berkembang menjadi entrepreneurial university.
Agar dapat menjawab tantangan dan keberlanjutan pembangunan universitas ke depannya, universitas generasi keempat dituntut untuk berperan sebagai agen transformasi sekaligus co-creator. Universitas tidak hanya aktif dalam bidang pendidikan dan penelitian, tetapi juga utilisasi pengetahuan dan menciptakan nilai tambah.
Jika melihat karakteristik Generasi Z yang saat ini aktif sebagai siswa di perguruan tinggi, keakraban terhadap teknologi, penguasaan gadget canggih, kemandirian dalam eksplorasi pengetahuan di dunia digital, dan kebutuhan terhadap ruang inovasi untuk memperoleh pengetahuan secara kreatif, sangat sesuai dengan evolusi universitas generasi keempat yang mengusung peran sebagai co-creator.
Konsep co-creation dalam dunia bisnis menurut Prahalad dan Ramaswamy (2004) merupakan kerja sama perusahaan dan konsumen dalam menghasilkan nilai atau kelebihan baru. Dalam buku Business-Driven Information System (Tarigan, Purbo, dan Sanjaya, 2010), konsep ini menekankan pada kesediaan perusahaan untuk mendengarkan stakeholder dalam kerja sama penciptaan nilai baru.
Adapun menurut Widianarko (2016), co-creation merupakan kerja sama atau kolaborasi dengan stakeholder dalam menghasilkan perubahan dalam masyarakat. Hal ini tidak berbeda jauh dari Catherine Bovil (2011), yang menjadikan siswa sebagai mitra dalam menghasilkan pengetahuan bagi yang lain. Siswa dilibatkan dalam proses pencarian pengetahuan dan pengajar menjadi fasilitator namun tetap menguasai medan agar siswa berada pada jalur yang benar.
Konsep Co-Creation
Dalam dunia bisnis, konsep co-creation mulai popular pada tahun 2004 sebagai salah satu pendekatan dalam menghasilkan nilai-nilai yang unik karena konsumen secara personel dilibatkan dalam menghasilkan nilai tersebut (personalisasi). Produsen menyediakan bahannya, sedangkan konsumen menentukan produk masing-masing.
Contoh dari aktivitas tersebut adalah Lego, yang mengembangkan komunitas online dengan anggota para pecinta lego. Setiap anggota dapat memberikan kontribusi ide dalam menghasilkan Lego yang menarik. Apabila didukung oleh 10.000 anggota, maka Lego akan memproduksi ide tersebut sehingga anggota lain juga mendapatkan manfaat dan perusahaan mendapat umpan balik kebutuhan secara riil.
Contoh lainnya adalah Starbucks, yang meluncurkan website Starbucks Idea untuk menampung usulan-usulan yang konstruktif dari komunitasnya untuk pengembangan Starbucks. Di dalam website tersebut, Starbucks mengumpulkan saran dan umpan balik dari pelanggan. Adapun pengguna lainnya dapat memberikan komentar serta menilai saran tersebut. Lebih dari 300 ide yang masuk telah diterapkan oleh Strabucks.
Bagaimana dengan dunia pendidikan? Pembelajaran dengan konsepCo-Creationdi perguruan tinggi dapat dilakukan dengan melibatkan siswa melalui berbagai aktivitas yang menghasilkan pengetahuan secara lebih luas ataupun mendalam. Bisa melalui aktivitas dokumentasi dengan gadgetnya, penulisan buku atau blog, pendanaan ide-ide kreatif, atau bahkan membuat game.
Aktivitas membuat dokumentasi dalam bentuk video dapat menjembatani kreativitas mahasiswa dalam menghasilkan konten pembelajaran untuk membangun pengetahuannya. Hasilnya bukan hanya bermanfaat bagi mahasiswa tetapi juga pembelajar yang lain. Menurut Ashley (2016), pendekatan secara audio visual ini sesuai dengan karakteristik Generasi Z. Cocok diterapkan untuk pembalajaran Pancasila, Kewarganegaraan, Religiusitas, dan sejenisnya.
Penulisan buku atau blog dapat memfasilitasi civitas academica dalam menghasilkan tulisan-tulisan sesuai dengan minat dan talentanya, refleksi pribadi ataupun kelompok, atau laporan-laporan terstruktur. Berbagai platform yang tersedia di internet dapat membuka peluang untuk distribusi pemikiran secara global.
Pendanaan ide-ide kreatif dapat menstimulasi civitas academica, terutama mahasiswa, dalam menciptakan ide suatu karya, proyek, atau bentuk kerja sama, yang dapat didukung secara bersamasama oleh masyarakat dan komunitas yang dijembatani oleh perguruan tinggi. Platform disediakan oleh kampus harus dapat menjembatani crowdfunding dalam pembiayaan ide yang disukai.
Pembuatan game merupakan salah satu contoh kolaborasi pengetahuan yang diwujudkan dalam media permainan digital. Perguruan tinggi dapat menyediakan ruang yang dapat diakses secara global untuk menampilkan karya-karya tersebut baik komersial maupun non-komersial.
Konsep dalam menghasilkan pengetahuan secara kolaboratif akan merekonstruksi peran mahasiswa dalam pembelajaran yang berfokus pada siswa (Student Centered Learning). Selain itu, sejalan dengan proses pembelajaran mahasiswa dapat mempersiapkan portofolio sesuai dengan minat dan talentanya untuk kepentingan masa depan.
Dengan strategi tersebut, mahasiswa didorong untuk menghasilkan karyakarya kreatif guna penerapan keilmuan secara nyata.
—Ridwan Sanjaya, Rektor Unika Soegijapranata dan guru besar Sistem Informasi
Tautan:
0 komentar:
Post a Comment