(Suara Merdeka, Wacana Nasional, 27 November 2017)
“Meskipun teknologi sebagai media dalam menjembatani tujuan tersebut menjadi keniscayaan, teknologi yang dikembangkan harus mampu menciptakan nilai lebih bagi keduanya; tidak hanya sekadar menjadi alat hubung”
BAGI banyak orang, saat kelulusan adalah satu momentum paling berkesan. Namun, setelah wisuda berlalu dan karena kesibukan, tingkat kesulitan kembali ke tempat kuliahnya dahulu menjadi tinggi.
Untuk pengurusan dokumen, mereka bahkan harus mencari waktu khusus atau titip kepada teman yang masih kuliah. Berbagai hal yang dibutuhkan dari almameternya menjadi rumit dan mahal sehingga akhirnya diminimalkan.
Interaksi yang makin minimal seringkali menjadikan kampus terasa sebatas bagian dari masa lalu. Teknologi informasi yang berkembang seharusnya memungkinkan universitas menjadi rumah bagi alumni, terutama jika keduanya saling terkoneksi dengan masa depan.
Alumni dengan berbagai aktivitasnya memiliki banyak pengalaman yang dapat dibagikan kepada kampus dan adik-adiknya. Berbagai pengalaman baru dan pemikiran yang konstruktif bagi universitasnya acap muncul pada saat mereka bekerja. Namun, karena tidak terkoneksi, banyak hal baik hanya berhenti di pikiran dan hilang bersama waktu.
Hubungan antara keduanya umumnya baru terjalin lagi saat reuni dan menjelang akreditasi program studi atau perguruan tinggi. Padahal tingkat mobilitas alumni antarnegara yang makin tinggi akhir-akhir ini merupakan pengalaman berharga untuk dibagikan.
Global Shapers Annual Survey 2017 yang dilakukan oleh World Economic Forum menunjukkan kaum muda saat ini makin terbuka untuk berpindah negara dalam upaya mencari pekerjaan serta mendapatkan karir lebih tinggi.
Apalagi pertumbuhan penduduk di banyak negara turun sejak 2013. Kian sedikit jumlah penduduk usia muda di negara-negara tersebut, membuat mereka akhirnya membuka peluang tenaga kerja usia produktif dari negara lain.
Sangat mungkin dan terbuka peluang mengisi berbagai posisi di luar negeri atau menjadi pemain bisnis antarnegara.
Pengalaman dalam karir dan wirausaha secara global merupakan wawasan dan masukan yang tak ternilai bagi tempatnya dulu belajar. Makin awal kampusnya mendapatkan masukan, kian siap almameternya menghadapi perubahan dunia yang radikal dalam beberapa tahun ke depan. Terutama pada era disruption, berbagai hal yang sudah mapan bisa berubah dan hilang secara tiba-tiba. Tempat bertemu antara keduanya dibutuhkan agar universitas dan alumni dapat saling memberi.
Beberapa waktu lalu, Unika Soegijapranata meluncurkan aplikasi mobile bernama Halo Alumni. Aplikasi itu dapat menjadi rumah bagi alumni di mana pun mereka berada.
Rumah digital yang ada dalam genggaman memungkinkan alumni mendapatkan layanan dari universitas secara langsung, mengetahui informasi terbaru di kampusnya, berkomunikasi dengan alumni lain, berbagi informasi, dan memberi masukan kepada universitas untuk pengembangan pada masa depan.
Meskipun teknologi sebagai media dalam menjembatani tujuan tersebut menjadi keniscayaan, teknologi yang dikembangkan harus mampu menciptakan nilai lebih bagi keduanya; tidak hanya sekadar menjadi alat hubung.
Aplikasi tersebut harus memungkinkan terjadi sinergi antarkeduanya dalam hal co-creation atau crowdfunding. Menurut Prahalad dan Ramaswamy (2004), konsep co-creation dalam dunia bisnis merupakan kerja sama perusahaan dan konsumen dalam menghasilkan nilai atau kelebihan baru.
Konsep itu dinilai makin penting bagi beberapa universitas. The University of Melbourne meluncurkan komunitas co-creation pada 2016 dan menghasilkan lebih dari dua ribu usulan konstruktif yang unik bagi kampusnya.
Centre for Excellence in Learning (CEL) di Bournemouth University menggunakan co-creation sebagai seperangkat alat untuk menghasilkan inspirasi dan gagasan kreatif yang potensial. Konsep crowdfunding yang dimunculkan kali pertama oleh Michael Sullivan (2006) merujuk pada kerja sama masyarakat dalam menghasilkan dana secara kolektif melalui internet.
Di dunia perguruan tinggi, aktivitas crowdfunding juga mulai meningkat seiring dengan kesuksesan alumninya di dunia kerja. Teknologi memerankan diri sebagai akselerator yang mempermudah pencapaian tujuan tersebut. Melalui crowdfunding, alumni The Ohio State University dapat mengumpulkan beasiswa, membangun jejaring, dan kesempatan kerja.
Dengan wadah yang dapat saling menginspirasi untuk berbagi dan tidak berjarak dengan lulusannya, ‘’Rumah bagi Alumni’’ dalam wujud teknologi menjadi kekuatan bagi universitas untuk berbuat lebih baik dalam menghadapi era perubahan, dan menghubungkan alumninya dengan kesempatan-kesempatan baik di masyarakat.
—Ridwan Sanjaya, Rektor Unika Soegijapranata dan Guru Besar Sistem Informasi
Tautan:
0 komentar:
Post a Comment