Oleh: Prof. Dr. F. Ridwan Sanjaya, MS.IEC, Rektor dan Guru Besar Sistem Informasi Unika Soegijapranata
DALAM beberapa tahun terakhir ini, manusia dihadapkan dalam berbagai disrupsi yang terjadi di hampir semua bidang kehidupannya. Awalnya dianggap sebagai kekacauan (chaos) namun pada akhirnya menjadi normalitas baru (new normality) yang dianggap biasa dan dijalani menjadi kebiasaan baru. Hal ini juga kita lihat pada dunia pendidikan pada saat dunia diterpa wabah Covid-19. Banyak sekolah yang sebelumnya cukup nyaman dengan pembelajaran tatap muka dibuat kocar-kacir tidak berdaya karena tidak pernah menyiapkan rencana cadangan ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, salah satunya ketika sekolah dipaksa tidak bisa bertatap muka secara langsung.
Berbagai reaksi muncul dalam menyikapi hal tersebut, ada yang langsung siap mengalihkan menjadi pembelajaran dalam jaringan (daring), ada yang baru bergegas mempersiapkan infstruktur, ada pula yang mencari-cari cara yang cepat dan mudah untuk menyampaikan materi ke anak-anak didiknya, atau bahkan ada yang hanya sekedar memberi tugas secara beruntun seperti tidak pernah ada akhirnya. Namun hal ini terpaksa dilakukan sebab berdiam dan tidak melakukan apa-apa justru resikonya lebih besar.
Memang benar pernyataan bahwa teknologi hanyalah alat yang dipakai di dunia pendidikan sebagai sarana untuk menyampaikan ilmu dan pengetahuan. Namun teknologi yang beragam jenisnya ini jika dipakai dengan cara yang salah atau tidak tepat peruntukannya akan menyebabkan tujuannya untuk menyampaikan ilmu dan pengetahuan tidak akan pernah tercapai.
Kita tidak pernah tahu kapan wabah ini akan berlalu dari kita sehingga berbuat yang terbaik pada saat darurat ini menjadi pilihan yang paling masuk akal dibandingkan memimpikan untuk berbuat yang terbaik pada saat nanti kembali mengajar dengan normal. Jika pada saat sekarang saja kita tidak bisa berbuat yang terbaik, apalagi pada saat nanti dimana waktunya tidak pasti kapan datangnya.
Seperti yang disampaikan oleh Kotler dalam bukunya yang berjudul "Chaotic: The Business of Managing and Marketing in the Age of Turbulence", ketika normalitas baru ini selesai dirasakan sebagai kekacauan, maka berbagai tindakan kita yang awalnya untuk merespon perubahan akan berubah menjadi suatu kebiasaan baru, termasuk cara kita menjalankan pembelajaran secara daring dan bagaimana siswa menerima pembelajaran daring.
Nilai Lama Menjadi Tidak Relevan
Nilai-nilai lama yang dianggap sebagai kebenaran hakiki tiba-tiba dijungkirbalikkan dan menjadi tidak relevan dalam berbagai kondisi. Semua menjadi terasa dikunci pada satu pilihan saja. Masa wabah yang tidak bisa diprediksi dan telah menyebabkan batalnya rentetan rencana dan kegiatan, telah membuat praktek lama yang dijalani berpuluh-puluh tahun menjadi tidak bisa dijalani sama sekali. Insitusi yang tidak siap dalam memberi alternatif pembelajaran tanpa tatap muka ini, bahkan kemudian juga mengalami tuntutan pengembalian uang sekolah karena stakeholder merasa tidak mendapatkan haknya dalam belajar.
Menurut Yuval Noah Harari yang terbit di Financial Times tanggal 20 Maret 2020, wajah dunia akan menjadi berbeda setelah wabah virus Corona. Begitu juga dengan wajah dunia pendidikan. Jika sebelumnya pembelajaran daring menjadi suatu kemewahan dan keistimewaan institusi tertentu atau bahkan masuk dalam mitigasi bencana, maka pada masa-masa yang akan datang menjadi sebuah bagian rutinitas pembelajaran. Bagi mereka yang tidak mau beradaptasi akan menghadapi kenyataan akan tergeser seperti yang disampaikan oleh Clayton Christensen dalam bukunya yang berjudul Innovator's Dilemma.
Apabila kita menjadi adaptif dan merespon dengan positif, maka kekacauan dan perubahan yang terjadi akan dapat dilewati dengan baik. Berbagai hal yang dianggap sebagai kesulitan dan batasan akan terasa menjadi sebuah persyaratan dasar yang biasa-biasa saja.
Jika awalnya infrastruktur, pilihan teknologi, metode penyampaian materi, administrasi pembelajaran, bahkan kuota Internet menjadi masalah ketika tiba-tiba diharuskan untuk menjalankan pembelajaran daring, maka hal tersebut akan menjadi praktek dasar bagi setiap pengelola institusi pendidikan saat wabah ini selesai. Beberapa orang yang tetap keras kepala untuk hanya mengakui tatap muka sebagai satu-satunya jenis yang ideal dalam pembelajaran akan berubah dengan seiringnya waktu.
Tidak ada yang sulit sama sekali untuk dilakukan, karena dunia pendidikan juga bukanlah entitas yang masing-masing berdiri sendiri. Bergandengan tangan dalam berbagi materi pembelajaran dan menggunakan sumber pembelajaran daring secara bersama-sama merupakan salah satu semangat yang dibawa oleh platform pembelajaran daring seperti edX, MOOC Aptikom, Kuliah Online APTIK, IndonesiaX, dan masih banyak lagi.
Di tengah kondisi sulit ini, kita masih diberi beberapa pilihan untuk bisa diambil sebagai bagian pertanggungjawaban kita kepada stakeholder, baik dalam jangka waktu pendek maupun dalam jangka waktu panjang. Masa depan pendidikan ada di tangan kita semua yang siap berubah.
#LearnFromHome #IndonesiaStayStrong.
Tautan:
- Tribun Jateng 3 April 2020 hal. 2
- Portal Berita Unika Soegijapranata
0 komentar:
Post a Comment